Aku memandang langit. Sesekali
berhela napas. Tanda bersyukur kepada Allah SWT atas semua pemberian – Nya.
Memandang sekeliling yang membuat ku terkesima. Ya, sebuah komplek perumahan
yang berada di perkotaan. Entah tetangga disini merasakan yang aku rasa atau
tidak. Tak Nampak aku merasakannya.
Aku tak boleh seperti itu, bagaimana pun
aku harus berprasangka yang baik. Di
ujung perumahan, kulihat kedai makanan. Tampak ramai, sehingga menutup sebagian
akses jalan yang ada mengarah ke perumahanku. Ibu – ibu saling bertukar cerita.
Tertawa sambil menggandeng anak nya yang berseragam putih merah bertopi. Selang
beberapa menit, kudengar riuh suara pedangang yang menjajakan makanannya secara
keliling. Hanya kuamati sekilas, lalu kulangkahkan kaki ku masuk kerumah.
Jam menunjukkan angka 8 dini hari.
Tak kudengar suara ayam yang berkokok. Suara yang konon selalu dikaitkan dengan
datangnya pagi hari. Hanya suara kicauan burung yang mengudara. Sesekali suara
teriakan bocah yang sedang bermain bola di depan rumah. Mentari membentuk sudut
30 derajat di timur perumahan.
Menghangatkan setiap raga yang menghampirinya. Kulihat
Pak Dirga melewati rumah ku dengan sepedahnya. Ya, sepeda tua yang menjadi
temannya hingga bertahun – tahun. Sejak Pak Dirga remaja hingga kini berusia 50
tahun - an, sepeda itu yang menjadi asset
berharga baginya. Semua kenangan ada pada sepeda tua tersebut.
Kubasuh badan ini dengan air yang
mengalir. Agar terasa segar di pagi hari. Lalu aku duduk di depan rumah sambil
memandang rumah sekitar. Kulihat bocah yang menendang bola dengan asalnya. Tak henti
– henti membentur mobil yang terparkir dan rumah. Tentu ini sangat mengganggu
warga sekitar akan tingkah bocah – bocah ini. Makum saja, mereka bermain di
tempat yang tidak sesuai dengan permainannya. Mereka seharusnya bermain di
tanah lapang. Namun, nihil rasanya mencari tanah lapang di perkotaan seperti
ini. Yang ada hanya kompleks perumahan, kedai, dan kafe. Maklum saja
pemandangan ini terjadi di perkotaan.
Terasa hangat menyapa dari sinar
mentari yang kian beranjak keatas. Mengganggu ku bermain dengan ponsel android ini. Hanya diriku yang terusik dari datangnya
sinar mentari. Tidak seperti ibu – ibu yang mengharapkan sinar ini untuk
mengeringkan pakaiannya. Aku mulai menyudahi bermain dengan gadget dan memasuki rumahku. Hari ini hari libur. Entah aku harus
apa selain bermain gadget, chat, dan bermain.
Kuambil laptop yang ada di kamarku. Kembali
melanjutkan kata – kata yang sudah ku rajut. Ya, aku suka sekali menulis. Menurutku
menulis merupakan hal yang positif. Menulis juga merupakan cara untuk
mengungkapkan semua ekspresi yang ada. Dengan menulis, saya bisa menyimpan
semua tulisan saya dan menjadi sebuah kenangan yang suatu saat nanti aku bisa
membacanya kapan saja. Selain itu, dengan menulis juga aku bisa menjadikannya
sebagai pekerjaan yang tentu menghasilkan rupiah.
Sudah 1 jam aku meluangkan waktu
untuk menulis. Perutku pun kini mulai meringkih meminta makanan untuk asupan ku
pagi hari. Kusudahi aktifitas ku dalam menulis ini dan langsung beranjak ke
dapur. Ku ambil piring dan satu centing nasi dengan lauk ayam dan telur. Sebuah
kenikmatan dimana aku bisa menyantap makanan kesukaanku. Setelah itu aku ambil
posisi yang terbaik yaitu di depan tv dan menikmati tayangan yang televisi berikan.
Kulihat sinar matahari kian menjadi.
Hari semakin siang. Matahari kian beranjak tepat atas ubun – ubun. Panas yang
kurasa. Dan haus yang menyertai tenggorokan ku. Suara azan sudah menggaung. Memanggil
setiap umat beragama islam menuju rumah – Nya untuk mengingat Allah. Terdengar sangat
merdu dan lantang suara muadzin yang
diberikan.
Sungguh bergetar hati ini
mendengarnya. Kuambil air wudhu di belakang. Membasuh setiap ujung badan. Agar suci
terhindar dari setiap kotoran. Lalu, kulangkahkan kaki ini menuju rumah Allah
SWT.
Usai melaksanakan sembahyangku. Aku pulang
ke rumah dengan langkah santai. Terik panas menyengat tubuh kian terasa. Untung
saja jarak rumah dengan masjid tak jauh. Lagi dan lagi aku bersyukur atas semua
nikmat yang Allah berikan. Kulihat tampak perumahanku yang bersih sepanjang penglihatanku.
Namun,
kehidupan perumahan ini tampak sepi. Layaknya rumah yang tak berpenghuni. Sunyi.
Tak ada lagi teriakkan bocah yang menendang asal bolanya. Tak ada lagi ibu –
ibu yang sibuk berbincang sana - sini
dengan ibu –ibu lainnya. Tak ada lagi kehidupan yang kurasa pagi hari.
Aku masuk kedalam rumah. Mengetuk pintu.
Kemudian aku kembali ke aktifitas ku. Duduk, bermain, dan menonton. Siang hari
makin terasa terik. Mungkin dengan panasnya matahari pada siang hari khususnya
di daerah perkotaan, bisa mempersingkat waktu dalam pengeringan pakaian yang
tadi pagi di cuci. Entah berapa suhu yang aku rasa ini. Mungkin bagi banyak
orang yang sudah biasa hidup di daerah perkotaan sudah terbiasa dengan suhu
ini, tapi tidak bagiku.
Tapi sudahlah, hari demi hari
kulalui. Dan sampai kini sudah mulai terbiasa akan hal ini. Saat ini sudah
memasuki waktu sore hari. Panas matahari seakan berubah menjadi hangat lagi. Aku
keluar rumah kembali memandang tempat tinggalku.
Sudah mulai ada aktifitas yang
normal kembali. Namun hanya bocah yang sedang bermain saja. Selebihnya seperti
ibu – ibu yang saling gossip dan semua aktifitas di pagi hari taka da lagi. Aku
terbiasa dengan tidak tidur siang. Entah aku cukup dengan istirahat ku atau
memang aku tidak membutuhkan itu.
Lagi kudengar suara azan yang
berkumandang. Dengan nada dan tempo yang berbeda. Tentu sang muadzin pun
berbeda dari azan siang tadi. Langsung aku mengambil air yang bisa menyucikan
tubuh, dan langsung berangkat ke rumah Allah SWT.
Setelah itu badanku terasa
gatal dan lengket saat ini. Bagaimana tidak, ini semua berkat keringat yang
mengucur deras saat siang hari tiba. Setelah usai membersihkan badanku, kembali aku merangkai kata – kata ku di dalam
laptop.
Malam kian terlihat. Suara bocah
yang bermain bola asal menendang pun kian sirna. Aku pun langsung menyalakan
lampu teras dan ruang tamu. Menyalakan rumah agar tidak kalah dengan gelapnya
alam. Lagi, suara azan pun berkumandang. Kini suara ini hadir pula di televisi
yang aku tonton. Suara azan magrib. Langsung aku mengambil air wudhu dan
kubentangkan sajadahku.
Malam tiba. Suara jangkrik saling
berbenturan. Kudengar suara pedagang makanan yang berkeliling malam – malam. Sesekali
terdengar suara teriakkan bocah yang entah apa yang mereka lakukan. Ku ambil gadget ku untuk bermain gim. Sesekali menjawab
chat yang mungkin terlewat di pagi
sampai sore hari.
Menjawab satu – satu semua chat ini seperti diriku yang sibuk dalam sebuah lembaga Negara. Yang
mempunyai jam kerja yang sibuk dan tak bisa di ganggu. Atau seperti manajer
yang menghandel semua pekerjaan agar bisa lancar.
bersambung~
Comments
Post a Comment