Bagai Debu yang Berhamburan

Bagai Debu yang Berhamburan Kami, bagai debu. Melayang bersama - sama debu lainnya. Satu suara, satu tujuan. Dimana arah angin terbang, kami mengikuti. Kami, bagai debu. Mengotori dunia dan merusak lingkungan. Memperkeruh air yang bening. Dan membuat sesak makhluk hidup. Kami, bagai debu. Tipis, tak terlihat dalam penglihatan. Tak menghargai adanya kami. Padahal kita selalu bersama debu lainnya. Kami, bagai debu. Ketika sang penguasa merajai. Tak memandang hal sekecil kami. Malah menghancurkan, bagai debu yang berhamburan.

Cerpen : Cibiran Tetangga yang Kerap Menghantui



Aku memandang langit. Sesekali berhela napas. Tanda bersyukur kepada Allah SWT atas semua pemberian – Nya. Memandang sekeliling yang membuat ku terkesima. Ya, sebuah komplek perumahan yang berada di perkotaan. Entah tetangga disini merasakan yang aku rasa atau tidak. Tak Nampak aku merasakannya. 

Aku tak boleh seperti itu, bagaimana pun aku harus berprasangka yang baik.  Di ujung perumahan, kulihat kedai makanan. Tampak ramai, sehingga menutup sebagian akses jalan yang ada mengarah ke perumahanku. Ibu – ibu saling bertukar cerita. Tertawa sambil menggandeng anak nya yang berseragam putih merah bertopi. Selang beberapa menit, kudengar riuh suara pedangang yang menjajakan makanannya secara keliling. Hanya kuamati sekilas, lalu kulangkahkan kaki ku masuk kerumah.

Jam menunjukkan angka 8 dini hari. Tak kudengar suara ayam yang berkokok. Suara yang konon selalu dikaitkan dengan datangnya pagi hari. Hanya suara kicauan burung yang mengudara. Sesekali suara teriakan bocah yang sedang bermain bola di depan rumah. Mentari membentuk sudut 30 derajat di timur perumahan.

 Menghangatkan setiap raga yang menghampirinya. Kulihat Pak Dirga melewati rumah ku dengan sepedahnya. Ya, sepeda tua yang menjadi temannya hingga bertahun – tahun. Sejak Pak Dirga remaja hingga kini berusia 50 tahun  - an, sepeda itu yang menjadi asset berharga baginya. Semua kenangan ada pada sepeda tua tersebut.

Kubasuh badan ini dengan air yang mengalir. Agar terasa segar di pagi hari. Lalu aku duduk di depan rumah sambil memandang rumah sekitar. Kulihat bocah yang menendang bola dengan asalnya. Tak henti – henti membentur mobil yang terparkir dan rumah. Tentu ini sangat mengganggu warga sekitar akan tingkah bocah – bocah ini. Makum saja, mereka bermain di tempat yang tidak sesuai dengan permainannya. Mereka seharusnya bermain di tanah lapang. Namun, nihil rasanya mencari tanah lapang di perkotaan seperti ini. Yang ada hanya kompleks perumahan, kedai, dan kafe.  Maklum saja  pemandangan ini terjadi di perkotaan.

Terasa hangat menyapa dari sinar mentari yang kian beranjak keatas. Mengganggu ku bermain dengan ponsel android  ini. Hanya diriku yang terusik dari datangnya sinar mentari. Tidak seperti ibu – ibu yang mengharapkan sinar ini untuk mengeringkan pakaiannya. Aku mulai menyudahi bermain dengan gadget dan memasuki  rumahku. Hari ini hari libur. Entah aku harus apa selain bermain gadget, chat,  dan bermain.

Kuambil laptop yang ada di kamarku. Kembali melanjutkan kata – kata yang sudah ku rajut. Ya, aku suka sekali menulis. Menurutku menulis merupakan hal yang positif. Menulis juga merupakan cara untuk mengungkapkan semua ekspresi yang ada. Dengan menulis, saya bisa menyimpan semua tulisan saya dan menjadi sebuah kenangan yang suatu saat nanti aku bisa membacanya kapan saja. Selain itu, dengan menulis juga aku bisa menjadikannya sebagai pekerjaan yang tentu menghasilkan rupiah.

Sudah 1 jam aku meluangkan waktu untuk menulis. Perutku pun kini mulai meringkih meminta makanan untuk asupan ku pagi hari. Kusudahi aktifitas ku dalam menulis ini dan langsung beranjak ke dapur. Ku ambil piring dan satu centing nasi dengan lauk ayam dan telur. Sebuah kenikmatan dimana aku bisa menyantap makanan kesukaanku. Setelah itu aku ambil posisi yang terbaik yaitu di depan tv dan menikmati tayangan yang televisi berikan.

Kulihat sinar matahari kian menjadi. Hari semakin siang. Matahari kian beranjak tepat atas ubun – ubun. Panas yang kurasa. Dan haus yang menyertai tenggorokan ku. Suara azan sudah menggaung. Memanggil setiap umat beragama islam menuju rumah – Nya untuk mengingat Allah. Terdengar sangat merdu dan lantang  suara muadzin yang diberikan. 

Sungguh bergetar hati ini mendengarnya. Kuambil air wudhu di belakang. Membasuh setiap ujung badan. Agar suci terhindar dari setiap kotoran. Lalu, kulangkahkan kaki ini menuju rumah Allah SWT.

Usai melaksanakan sembahyangku. Aku pulang ke rumah dengan langkah santai. Terik panas menyengat tubuh kian terasa. Untung saja jarak rumah dengan masjid tak jauh. Lagi dan lagi aku bersyukur atas semua nikmat yang Allah berikan. Kulihat tampak perumahanku  yang bersih sepanjang penglihatanku. 

Namun, kehidupan perumahan ini tampak sepi. Layaknya rumah yang tak berpenghuni. Sunyi. Tak ada lagi teriakkan bocah yang menendang asal bolanya. Tak ada lagi ibu – ibu yang sibuk berbincang sana -  sini dengan ibu –ibu lainnya. Tak ada lagi kehidupan yang kurasa pagi hari.

Aku masuk kedalam rumah. Mengetuk pintu. Kemudian aku kembali ke aktifitas ku. Duduk, bermain, dan menonton. Siang hari makin terasa terik. Mungkin dengan panasnya matahari pada siang hari khususnya di daerah perkotaan, bisa mempersingkat waktu dalam pengeringan pakaian yang tadi pagi di cuci. Entah berapa suhu yang aku rasa ini. Mungkin bagi banyak orang yang sudah biasa hidup di daerah perkotaan sudah terbiasa dengan suhu ini, tapi tidak bagiku.

Tapi sudahlah, hari demi hari kulalui. Dan sampai kini sudah mulai terbiasa akan hal ini. Saat ini sudah memasuki waktu sore hari. Panas matahari seakan berubah menjadi hangat lagi. Aku keluar rumah kembali memandang tempat tinggalku. 

Sudah mulai ada aktifitas yang normal kembali. Namun hanya bocah yang sedang bermain saja. Selebihnya seperti ibu – ibu yang saling gossip dan semua aktifitas di pagi hari taka da lagi. Aku terbiasa dengan tidak tidur siang. Entah aku cukup dengan istirahat ku atau memang aku tidak membutuhkan itu.

Lagi kudengar suara azan yang berkumandang. Dengan nada dan tempo yang berbeda. Tentu sang muadzin pun berbeda dari azan siang tadi. Langsung aku mengambil air yang bisa menyucikan tubuh, dan langsung berangkat ke rumah Allah SWT.

 Setelah itu badanku terasa gatal dan lengket saat ini. Bagaimana tidak, ini semua berkat keringat yang mengucur deras saat siang hari tiba. Setelah usai membersihkan badanku,  kembali aku merangkai kata – kata ku di dalam laptop.

Malam kian terlihat. Suara bocah yang bermain bola asal menendang pun kian sirna. Aku pun langsung menyalakan lampu teras dan ruang tamu. Menyalakan rumah agar tidak kalah dengan gelapnya alam. Lagi, suara azan pun berkumandang. Kini suara ini hadir pula di televisi yang aku tonton. Suara azan magrib. Langsung aku mengambil air wudhu dan kubentangkan sajadahku.

Malam tiba. Suara jangkrik saling berbenturan. Kudengar suara pedagang makanan yang berkeliling malam – malam. Sesekali terdengar suara teriakkan bocah yang entah apa yang mereka lakukan. Ku ambil gadget ku untuk bermain gim. Sesekali menjawab chat yang mungkin terlewat di pagi sampai sore hari. 

Menjawab satu – satu semua chat ini seperti diriku yang sibuk dalam sebuah lembaga Negara. Yang mempunyai jam kerja yang sibuk dan tak bisa di ganggu. Atau seperti manajer yang menghandel semua pekerjaan agar bisa lancar.

               bersambung~



Comments

Popular Post

Proses

Bagai Debu yang Berhamburan

Sampaikan suratku untuk wanita yang kudamba